Pelacuran
telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Namun menelusuri sejarah
pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan
Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian
pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull; 1997:1-22). Dua
kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika
kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana
Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di
sebelah selatan Jawa Tengah.
Pada
masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan
yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat
besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya
tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini
apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti
tersendiri.
Raja
mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas Jawa, bumi dan
seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala sesuatunya
adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan
menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa
terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari
banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah
puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan.
Sebagian
lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang
berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut
mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.
Sebagian
selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak
raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah
tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah
seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro
(1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah
terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang
daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk
daerah kota.
Daerah-daerah
tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa
Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar,
Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan
di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah
daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke
istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).
Makin
banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2)
bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan
fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi
kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya
raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir.
Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat
tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat
untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari
tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan
politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status
perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang
antaran) dan sebagai selir.
Perlakuan
terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di
Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem
perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa
dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta
rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis
menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan
dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk
menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada
raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3).
Bentuk industri seks
yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan
Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem
perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di
daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para
serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan
budaya asing yang masuk ke Nusantara.
Dari
semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk
pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang
dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke
Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini.
Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan
aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang
menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para
pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik
penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya
mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu.
Perkimpoian
antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras
juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya
dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai
suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan
motivasi komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki
Eropa. Perilaku kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu
nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin
mereka. (Hull; 1997:4).
Situasi
pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan
Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak
menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat,
dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka
sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang
keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai
pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan
baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan
mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”.
Pada
tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of correction for
women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang
bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi
mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian,
peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa
izin” menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat
toleransi komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).
Tahun
1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui
komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk
menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun
istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan
kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan
karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal
dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut
sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852.
Dalam
peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara
ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar
diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu)
menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit
syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).
Jika
seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut
harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu
lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus
untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi
dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan
sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil.
Sayangnya
peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak
kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan
pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan
dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan
tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga
komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat
konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran.
Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi
aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan
wanita publik itu sendiri.
loading...
0 Response to "SEJARAH PELACURAN DI INDONESIA"
Posting Komentar