Betapa kagetnya Shafa Kamila, 35, melihat akun Facebook miliknya. Sebuah foto kertas kuliah dengan nilai jelek di-posting salah seorang mahasiswa yang tak puas dengan nilai yang diberikan dosen di salah satu perguruan tinggi di Bandung itu.
Namun, yang justru membuat sedih dan kecewa ialah tindakan mahasiswanya yang mem-bully dia di media sosial. Gambar tersebut memancing beragam komentar - komentar negatif berisi cacian dan makian yang tidak sepantasnya dilontarkan kepada sosok seorang dosen.
"Saya bisa membedakan mana yang sekadar posting dan mana yang memang mengarah orang untuk berkomentar negatif terhadap saya. Seharusnya segala sesuatu bisa dibicarakan baik - baik, bukan justru dilontarkan ke media sosial yang orang tak berkepentingan pun bisa turut berkomentar. Saya begitu sedih," ungkap Shafa, pertengahan pekan ini.
Sebagai dosen yang juga pemerhati media sosial, Shafa sering memberikan pelatihan internet sehat dan cerdas ke sejumlah lembaga. Ia tidak menyangka bahwa dirinya akhirnya menjadi salah satu korban cyberbulliying tersebut. Shafa lantas melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang, dalam hal ini universitas tempatnya mengajar. Berselang 10 hari setelah kejadian, mahasiswa itupun meminta maaf kepada Shafa.
Shafa merasa dirinya terhina dan dilecehkan, bahkan tidak nyaman untuk kembali mengajar di kampus, ia yakin tindakan Bullying itu dipicu masalah pribadi dirinya dengan sang mahasiswa. Tindakan Bullying di media sosial yang dilakukan mahasiswanya itu akibat ketidaktahuan mahasiswa akan etika berkomunikasi. Mahasiswa itu juga tidak paham bahwa media sosial merupakan portofolio diri yang memiliki konsekuensi tersendiri jika disalahgunakan.
Shafa berharap pelatihan penggunaan internet sehat dan cerdas bisa intensif diberikan di berbagai lembaga pendidikan. Upaya tersebut penting untuk mengantisipasi kemungkinan aksi Cyberbullying yang semakin terbuka lebar seiring dengan penetrasi internet di kalangan masyarakat.
Ia menegaskan Cyberbullying memang tidak berujung pada kekerasan fisik. Namun, aksi itu berpotensi menjadi permasalahan serius bagi kejiwaan korban. Jika media sosial tidak dipahami secara baik oleh pemakainya, masalah Cyberbullying akan menjadi mata rantai masalah yang tidak pernah putus.
"Ini bukan hanya soal menindak dan memaafkan. Tapi, bagaimana lembaga menyadari bullying adalah masalah bersama sehingga mengeluarkan kebijakan untuk mengedukasi anak - anak muda kita yang lekat dengan internet. Kita memang tidak bisa mengontrol orang membicarakan kita di belakang, tapi bisa mengontrol hal baik di media sosial," harapnya.
Jika aksi Bullying di media sosial alias Cyberbullying terbilang sebagai masalah baru, aksi serupa di sekolah masih menjadi borok di dunia pendidikan. Ketika aksi Bullying fisik dan verbal itu telah memakan korban, orang tua punya peran besar untuk menghentikannya.
Upaya itu sesungguhnya tidak hanya menyelamatkan anak yang menjadi korban, tetapi juga memutus siklus kekerasan, penanda kultur bullying yang hidup di sebuah komunitas, terutama lembaga pendidikan.
Pengalaman Bullying oleh kakak kelas saat masa orientasi sekolah (MOS) SMA mendorong Merika Prisilia, 21, aktif mengkampanyekan anti-bullying lewat komunitas Do Something Indonesia. Ia bersama teman - teman sesama korban membuka website yang mengakomodasi cerita para korban bullying.
"Bulliying bisa berdampak buruk bagi fisik maupun kejiwaan, hingga kasus bunuh diri, sehingga hal ini jadi masalah serius. Sampai saat ini, bullying pun masih kerap dilakukan anak - anak di berbagai sekolah. Kami juga akan mengadakan kampanye untuk menjadikan sekolah sebagai Bully Free Zone," kata Merika.
sumber : http://kampungperawan.blogspot.com/
loading...
0 Response to "INTIMIDASI DI SEKOLAH HINGGA TEMPAT KERJA"
Posting Komentar