Siapa ‘God Father’ Dibalik Pembakaran Hutan dan Lahan?
“Ada sekitar 20 aktor mafia yang terlibat di lapangan dan mendapat keuntungan ekonomi dari pembakaran hutan dan lahan. Sebagian besar dari mereka adalah jaringan kepentingan dan aktor dalam Kejahatan Terorganisir yang mendapat keuntungan ekonomi, inilah yang menyulitkan langkah penegakan hukum.”
Aksi pemerintah memenjarakan atau menuntut individu serta perusahaan yang diduga membakar lahan tak akan cukup untuk mencegah kabut asap berulang. Fakta dan kesimpulan ini terungkap dalam penelitian tentang ‘Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan‘ dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo. Menurutnya:
“Kerumitan di lapangan terjadi karena para pelaku pembakar hutan, baik masyarakat maupun kelas-kelas menengah dan perusahaan selalu berhubungan dengan orang-orang kuat, baik di tingkat kabupaten, nasional, bahkan sampai tingkat ASEAN.”
“Tidak mudah bagi Bupati yang akan menuntut (pembakar hutan), bisa jadi yang punya (kebun) kelapa sawit, membakar hutan, berhubungan dengan partai tertentu yang kuat di daerah, sehingga Bupati atau Gubernur tidak gampang juga (bertindak), harus melihat konstelasi politik.”
“Aktor-aktor tersebut, bekerja seperti bentuk “kejahatan terorganisir”(organize crimes).”
Disebut Kejahatan Terorganisir karena ada kelompok-kelompok yang menjalankan tugas berbeda, seperti mengklaim lahan, mengorganisir petani yang melakukan penebasan atau penebangan atau pembakaran, sampai tim pemasaran dan melibatkan aparat desa.
Namun tak hanya di tingkat pusat, pemilik lahan bisa saja kerabat penduduk desa, staf perusahaan, pegawai di kabupaten, pengusaha, atau investor skala menengah dari Jakarta, Bogor, atau Surabaya.
Pie-Chart Bagi Keuntungan Dari Hasil Pembakaran Hutan
Masing-masing kelompok yang melakukan aktivitas pembukaan lahan akan mendapat persentase pemasukan sendiri, namun rata-rata, pengurus kelompok tani mendapat porsi pemasukan terbesar, antara 51%-57%,.
Sementara kelompok petani yang menebas, menebang, dan membakar mendapat porsi pemasukan antara 2%-14%.
Dalam penelitiannya, Herry menemukan bahwa harga lahan yang sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang ditawarkan dengan harga Rp.8,6 juta per hektar.
Namun, lahan dalam kondisi ‘siap tanam’ atau sudah dibakar malah akan meningkat harganya, yaitu Rp11,2 juta per hektar.
Lalu tiga tahun kemudian, setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka perkebunan yang sudah jadi itu bisa dijual dengan harga Rp40 juta per hektar.
“Kenaikan nilai ekonomi dari lahan inilah yang membuat aktor-aktor yang diuntungkan berupaya agar kebakaran hutan dan lahan terjadi terus-menerus.”
Selain itu, dalam pola jual beli lahan, penyiapan lahan menjadi tanggung jawab pembeli, jika akan dibakar atau dibersihkan secara mekanis. Semakin murah biaya pembersihan, untung pembeli akan semakin besar.
Menurut Herry, sebagai perbandingannya, per hektar lahan yang dibakar biayanya $10-20, sementara untuk lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 per hektar.
Penelitian Herry dilakukan di 11 lokasi di empat kabupaten di Riau, yaitu Rokan Hulu, Rokan Hilir, Dumai, dan Bengkalis menggunakan metode pemetaan, survei, dan pendekatan kebijakan. Di Riau, ada 60 perkebunan kelapa sawit dan 26 hutan tanaman industri.
Patron Politik
Perusahaan atau individu daerah yang menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit di daerah bisa menemukan patron-patron politik di tingkat lokal. Herry mencontohkan:
“Misalkan ada perusahaan-perusahaan skala kecil yang punya patron partai politik sangat kuat di kabupaten itu yang berpengaruh ke proses-proses pengambilan keputusan dan penegakan hukum di daerah tersebut. Bisa jadi mereka pendukung kuat dari pertai itu. Pemain di tingkat menengah atau ‘cukong’, bisa siapa saja”.
“Dari oknum pegawai pemerintah, polisi, tentara, peneliti, bisa terlibat, bisa punya sawit sampai ratusan hektar dan dalam proses pengembangan sawitnya bisa (melakukan) pembakaran untuk menyambut musim hujan berikutnya”.
Aktor-aktor inilah yang tak terbaca atau tertangkap dalam pola penegakan hukum yang terjadi sekarang untuk menangani kabut asap. Untuk menemukannya, maka penting untuk menelusuri ke mana produk kelapa sawit dari perkebunan-perkebunan tersebut disalurkan.
Bakar Lahan Terjadi Selama Ratusan Tahun
Terhadap temuan ini, juru bicara Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia(GAPKI), Tofan Mahdi, mengatakan, ada 2.500 perusahaan kelapa sawit kelas kecil dan menengah, dan total hanya ada 635 perusahaan yang menjadi anggota GAPKI.
“Yang jadi anggota kita, saya yakin tidak ada (yang membakar lahan), karena kita kontrol sampai bawah. Di luar anggota GAPKI, kami tak punya instrumen atau kepentingan, tapi kita mengimbau, mendukung apa yang disampaikan oleh gubernur Kalsel misalnya agar mereka (perusahaan kelapa sawit kecil dan menengah) untuk jadi anggota GAPKI agar kontrolnya lebih gampang,” ujarnya.
Namun, Tofan mengakui bahwa mereka belum memiliki metode yang ketat dalam melakukan pengawasan sampai ke bawah. “Tapi GAPKI punya standar, punyarequirement, memenuhi aturan yang sesuai dengan regulasi di pusat, lokal, dan daerah,” katanya.
Selain itu, Kepolisian Daerah Riau sudah menetapkan PT Langgam Inti Hibrida yang juga anggota GAPKI sebagai tersangka pembakaran hutan pada tahun 2015.
Edi Saputra, petani di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan mengatakan bahwa praktik pembakaran lahan memang sudah berlangsung di komunitasnya selama ratusan tahun. Namun praktik itu tak setiap tahun dilakukan, biasanya hanya 5-10 tahun sekali bertepatan dengan masa tanam.
“Kita sudah ratusan tahun membakar, tapi kenapa kita ribut sekarang soal asap, artinya, kenapa itu muncul jadi kebakaran yang dahsyat? Karena semua konsesi itu diberikan kepada korporasi, sehingga lahan jadi mudah terbakar,” Edi Saputra menerangkan.
“Lahan korporasi itu ‘kan kering sekali, nggak bisa ditanami padi. Sekarang dibanding dulu, jauh memang, asal tergores saja, ada bintik-bintik api, langsung terbakar lahan itu,” kata Edi Saputra menambahkan.
Membakar Hutan Nyaris Terjadi Tiap Tahun di Indonesia
Pembakaran hutan di Indonesia nyaris setiap tahun dilakukan. Dalam beberapa tahun terakhir telah tercatat ada kebakaran hutan yang disengaja pada tahun:
- Kebakaran Hutan Indonesia 1997 (1997 Indonesian forest fires / 1997 Southeast Asianhaze)
- Kebakaran Hutan Indonesia 2006 (2006 Southeast Asian haze)
- Kebakaran Hutan Indonesia 2009 (2009 Southeast Asian haze)
- Kebakaran Hutan Indonesia 2013 (2013 Southeast Asian haze)
- Kebakaran Hutan Indonesia 2015 (2015 Southeast Asian haze)
Status Bencana Nasional Tak Menjamin Kebakaran Hutan Cepat Ditanggulangi
Pemerintah didesak menaikkan status kebakaran hutan dan asap menjadi bencana nasional. Sebab, dua bencana itu sudah sangat merugikan masyarakat.
Namun, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Williem Rampangilei mengatakan, naiknya status kebakaran hutan dan asap menjadi bencana nasional tidak serta merta menjamin proses penanggulangan akan cepat diatasi.
Williem mengungkapkan, sumber daya nasional sudah dikerahkan pemerintah seperi TNI dengan helikopter dan membuat hujan buatan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan asap tahun ini. Meskipun, statusnya tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Tak hanya itu, kata Williem, penaikkan status menjadi bencana nasional harus memenuhi beberapa unsur seperti yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Salah satunya, indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Namun IndoCropCirles melihat suatu tujuan, bahwa ada rencana licik dibalik pendesakan oleh para pengusaha, baik itu pengusaha swasta hingga para pengusaha politikus yang berkedok wakil rakyat, agar kebakaran hutan menjadi bencana nasional. Apa itu?
Karena dengan ditetapkannya kebakaran hutan menjadi bencana nasional, maka para perusahaan-perusahaan dan seluruh mafia beserta organisasi kriminalnya, akan lepas dari jeratan hukum!
Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan 2015
Walhi atau Wahana Lingkungan Hidup Indonesia merilis daftar perusahaan besar dibalik kebakaran hutan dan lahan. Daftar itu hasil analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
“Hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168,” kata Edo Rahkman, Manajer Kampanye Walhi Nasional di Jakarta.
Dia merinci daftar berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan lahan.
Kalimantan Tengah:
- Sinar Mas, tiga anak perusahaan,
- Wilmar, 14 anak perusahaan.
Riau:
- Asia Pulp and Paper (APP), enam anak perusahaan,
- Sinar Mas, 6 anak perusahaan,
- APRIL, 6 anak perusahaan,
- Simederby, 1 anak perusahaan,
- First Resources, 1 anak perusahaan dan
- Provident, 1 anak perusahaan.
Sumatra Selatan:
- Sinar Mas, 8 anak perusahaan,
- Wilmar, 11 anak perusahaan,
- Sampoerna, 4 anak perusahaan,
- PTPN, 3 anak perusahaan,
- Simederby, 1 anak perusahaan,
- Cargil, anak perusahaan,
- Marubeni, 3 anak perusahaan.
Kalimantan Barat
- Sinar Mas, 6 anak perusahaan,
- RGM/ APRIL, 6 anak perusahaan.
Jambi:
- Sinar Mas, 2 anak perusahaan,
- Wilmar, 2 anak perusahaan, .
Berdasarkan data LAPAN periode Januari-September 2015 ada 16.334 titik api, tahun 2014 ada 36.781. Berdasarkan data NASA FIRM 2015 ada 24.086 titik api, dan pada tahun 2014 ada 2.014 titik api.
Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA (Infeksi Saluraan Pernapasan bagian Atas). Di Jambi ada 20.471 orang, Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010 orang.
Arie Rompas Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, kebakaran karena pola penguasaan lahan korporasi terlalu luas. Dari 15,3 juta hektar luas Kalteng, 12,7 juta hektar (78%) dikuasai investasi. Baik HPH, sawit maupun pertambangan.
“Kalteng memiliki lahan gambut paling luas 3,1 juta hektar. Sudah habis untuk investasi perkebunan sawit. Kesalahan pemerintah yakni pembangunan lahan gambut sejuta haktar zaman Soeharto dan membuka gambut yang menjadi titik api. Gambut itu ekosistem basah yang ketika kering mudah terbakar,” katanya.
Tahun 2015, ada 17.676 titik api di Kalteng. Kebanyakan di konsesi. Namun upaya penegakan hukum masih kurang. Baru ada 30 perusahaan disidik, 10 disegel, tetapi belum jelas tindak lanjut seperti apa.
“Yang ditetapkan tersangka Mabes Polri cuma tiga. Itupun perusahaan kecil. Ini menunjukkan penegakkan hukum belum mengarah aktor besar yang mengakumulasi praktik besar pembakaran hutan.”
Dia menyebutkan, grup besar yang seharusnya disasar dalam upaya penegakan hukum antara lain Grup Wilmar, Best Agro International, Sinar Mas, Musimas, Minamas, dan Julong Grup.
Grup-grup ini, katanya, mengakumulasi mulai pemilik lahan, membeli CPO dari perusahaan menengah dan kecil, hingga mendapatkan keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan.
Senada diungkapkan Anton P Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar. Dia mengatakan, Kalbar sebenarnya sudah habis dibagj untuk konsesi. Dari luas 14.680.700 hektar, konsesi perkebunan sawit 5.387.610,41 hektar (550 perusahaan), pertambangan 6,4 juta hektar (817 IUP), dan HTI 2,4 juta hektar (52 perusahaan).
Gambut di Kalbar, 2.383.227,114 hektar, di dalamnya, perkebunan sawit 153 perusahaan seluas 860.011,81 hektar. HTI 27 perusahaan seluas 472.428,86 hektar. Total konsesi di lahan gambut 1.302.498,92 hektar.
“Sebaran Januari-September 2015 ada 7.104 titik api. Sebaran di HPH 329, HTI 1.247, sawit 2.783, tambang 2.600 dan gambut 2.994 titik api. Sejak 8 Juli-22 September, setidaknya 40 perusahaan perkebunan ini konsesi terbakar 24.529 hektar.
Hasil pemantauan 1-22 September ada 739 titik api. Berada di satu HPH, tiga HTI, 11 perkebunan dan sembilan pertambangan.
“Data tak kami berikan kepada kepolisian. Kami berikan kepada KLHK dengan harapan segera ditindak serius. Kami kecewa progres penegakan hukum kepolisian.”
Modus baru
Modus pembakaran hutan dan lahan oleh perusahaan, kata Anton, bukan hanya land clearing penyiapan lahan juga mengklaim asuransi. “Ini modus baru.”
Di beberapa perusahaan, katanya, kebakaran lahan ada kaitan dengan kepentingan asuransi. “Ini sedang kita dalami. Kita melihat ada kesengajaan. Ketika kebun dibuka dalam hitungan ekonomi tak produktif, maka dihanguskan agar mendapatkan asuransi, uang membuka kebun baru di wilayah lain.”
Anton belum bersedia menyebut nama-nama perusahaan tetapi dia memastikan ada grup-grup besar terlibat.
“Di Kalbar kita menyiapkan gugatan kepada penyelenggara negara melalui citizen law suit. Kiita menuntut tanggung jawab negara yang belum memenuhi hak-hak masyarakat. Ada tujuh posko pendaftaran gugatan di Pontianak. Harapannya ini mendapatkan dukungan masyarakat.”
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel mengatakan, titik api banyak di lahan gambut hingga muncul asap tebal dua bulan belakangan.
Di Sumsel, ada 3.679 titik api dengan sebaran perkebunan 830 dan HTI 2.509. “Hampir seluruhnya di konsesi. Negara harus memastikan tanggungjawab penuh dari perusahaan dan berani menuntut,” katanya.
Bahkan, ada satu HTI terbakar minggu lalu, ketika masyarakat berduyun-duyun mengambil air dan memadamkan dihadang kepolisian. Polisi menanyakan SIM dan STNK. Padahal itu di tengah hutan. Masyarakat tidak melihat kepolisan menghadang untuk memadamkan api.
“Masyarakat memadamkan karena takut kebun terbakar. Karena ada kebun karet masyarakat 30 hektar terbakar,” katanya.
Rudiansyah dari Walhi Jambi mengatakan, lima tahun terakhir kebakaran di konsesi sama. Sejak 2011, sebaran titik api naik 40%.
“Walaupun ada komitmen pemerintan pusat dan daerah tapi titik api terus meningkat. Tahun 2015, ada 5.000 an titik api di konsesi, 80% lahan gambut. HTI maupun sawit.”
Dalam Januari-Agustus 2015, ada 33.000 hektar terbakar dan ISPU sampai 406 hingga membayakan kesehatan.
Menurut dia, rata-rata perusahaan di Jambi pemasok Wilmar. Modus pembakaran, katanya, pada lahan sisa yang akan ditanami. Yang membakar, selain karyawan, juga masyarakat dengan upah Rp5 juta. Motif pakai tali nilon dipasang jarak 200 meter. Pakai minyak tanah, dinyalakan dengan obat nyamuk.
“Ini kesaksian masyarakat sebagai pelaku. Pembakaran itu disengaja. Akhirnya masyarakat jadi korban.”
Sebenarnya Polda Jambi maupun KLHK sudah merilis dengan mengindentifikasi 15 perusahaan pembakar lahan sengaja.
“Kami menunjukkan grup Sinar Mas, PT Tebo Multi Agro, PT Wira Karya Sakti. Sudah masuk list kepolisian jambi dan KLHK. Dalam proses penyelidikan kepolisian belum sampai.”
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau melalui sambungan Skype mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di Riau sepanjang Juli-Agustus juga banyak di konsesi.
Walhi Riau juga ada posko pengaduan masyarakat agar bisa menggugat class action. Walhi Riau juga akan melaporkan ke PBB karena ada kelalaian negara melindungi masyarakat.
Gugatan perdata ada 20 perusahaan. Dua perusahaan sebagai tersangka. Satu izin HPH dicabut KLHK.
Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional juga menanggapi. Dia mengatakan, data ini bukan berdasar asumsi dan halusinasi Walhi. Semua berdasarkan investigasi dan terkonfirmasi dari sumber relevan.
“Kita bertanggungjawab atas rilis ini. Kejadian tahun ini seharusnya membuka peluang negara bertindak. Jangan sampai sepeser uang masyarakat terambil. Rilis korporasi besar bukan hanya mengungkap kejahatan, juga meminta pertanggungjawaban.”
Muhnur meminta, pemerintah menggunakan hak representatif warga untuk mengajukan gugatan. Hak representatif ini jarang dan tidak pernah dilakukan pemerintah. Seharusnya pemerintah bisa mewakili rakyat mengklaim semua kerugian dan biaya supaya diganti perusahaan.
Catatan Walhi, 2013 ada 117 perusahaan dilaporkan tetapi hanya satu dipidana. Sekarang ada kekhawatiran akan terulang. Dari hampir 300 perusahaan, belum jelas proses hukumnya.
Asosiasi dan korporasi menanggapi. “Kalau yang sudah terpublikasi di media, itu oleh anggota IPOP akan diverifikasi dulu. Apakah benar mereka melakukan? Jadi kita tak hanya menerima nama dari media. Kami akan mengecek langsung ke perusahaan,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP), Nurdiana Darus di Jakarta, Senin (5/10/15).
Dia mengatakan, kalau pemasok sawit terbukti membakar, setiap anggota IPOP akan mengikuti kebijakan masing-masing perusahaan.
Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagement Golden Agri Resources Agus Purnomo mengatakan, dalam upaya verifikasi akan meminta bantuan tim legal independen.
“Soal kebakaran, itu dari 18-20 perusahaan yang diangkat oleh media massa diduga membakar, hanya tiga atau empat perusahaan pemasok kami. Dari tiga perusahaan itu, satu dicabut izin oleh KLHK. Otomatis kami berhenti membeli sawit dari mereka.”
KLHK memang belum mencabut izin tiga perusahaan sawit, baru membekukan izin sampai proses hukum selesai. Namun, Agus belum mendapat informasi jelas.
“Bersama-sama teman IPOP dalam minggu ini meminta bantuan tim legal independen hingga kemudian keputusan kami akurat.”
Meski begitu, katanya, lima perusahaan anggota IPOP serius tidak deforestasi, tidak mengkonversi gambut, juga membakar. “Bahwa kebun kita banyak titik api, itu iya. Tidak kita bantah. Kenyataan memang terbakar. Di lapangan, api terbang karena angin kencang. pohon-pohon kami meskipun sudah delapan tahun, daun-daun di atasnya kering. Mudah terbakar.”
Namun, kalaupun terbakar, tim pemadam api perusahaan sudah siap. Akhir September tak ada titik api terisisa. “Semua habis. Bahwa ada kebakaran lagi, karena api masih banyak berterbangan. Di kebun kami api mati bulan-bulan ini antara tiga sampai empat jam setelah diketahui. Kalau Agustus, satu jam padam. Sekarang agak sulit, karena air sudah tak ada. Sungai-sungai kecil kering. Jadi kami mau mematikan api pakai apa?”
Kawasan konservasi perusahaanpun terbakar. Tidak ada jalan kecuali membawa alat pemadam api ke tengah-tengah kawasan. Akhir bulan lalu, dia meminta kesepakatan beberapa LSM terpaksa membuat jalan ke kawasan koservasi agar bisa mematikan api.
“Kami janji pada Januari, begitu El-Nino berakhir, jalan memadamkan api kami bongkar dan tanami pohon. Direstorasi semula. Ini menunjukkan kesungguhan dan keterbukaan. Tidak betul di kebun kita tak ada kebakaran. Banyak. Tapi mati semua dalam beberapa jam.”
Pada 7 Oktober 2015, Cargil menanggapi laporan Walhi soal korporasi-korporasi penyumbang asap. Lewat Colin Lee, Director, Corporate Affairs Cargil, menyatakan, awal minggu ini, Cargil mengindetifikasi satu titik api di kebun sawit mereka, PT Hindoli, di Sumatera Utara. Tim mereka di lapangan langsung turun dan berhati-hati memantau situasi di sana, terutama di beberapa wilayah perambahan.
Untuk kebun Kalimantan Barat, tak ada laporan kebakaran, meskipun ada titik api di sekitarnya.
Di Sumut, katanya, titik api saat ini berada di dekat perkebunan mereka, PT Hindoli. “Ini berada di luar izin dan tak masuk dalam izin atau HGU kami.”
Pada kebun Cargil yang lain di Mukut, juga di Sumut, api disebarkan dari kebun tetangga yang berjarak sekitar delapan kilometer dari high conservation value (HCV) perusahaan. Upaya tim pemadam api Cargil menangani kebakaran berulang di area itu mulai awal September, dan baru berhasil memadamkan api minggu lalu.
“Kami sudah membangun sebuah kanal 6×4 meter kanal untuk menjaga perluasan api di teluk, juga sekaligus sebagai penyimpanan air guna memadamkan kebakaran selama periode kering panjang,” katanya.
Di Mukut ini, api juga menjalar mendekati lahan warga, tetap di luar batas Cargil yang terbentang sekitar 9 km. Kebakaran juga berbatasan dengan perusahaan perkebunan lain. “Tim pemadam kebakaran Cargil masih membantu masyarakat dan pemerintah daerah mematikan api itu.”
Minggu lalu, katanya, helikopter water bombing BNPB juga berupaya memadamkan api itu. Sejak upaya dihentikan, api terus menyebar ke wilayah lain sekitar tiga km, bergerak menuju kebun Cargil. “Pemadam kebakaran kami berhari-hari berada di area hingga kini, terus berupaya memadamkan api.”
Perusahaan, katanya, telah mengerahkan eksavator besar dan kecil, banyak pompa air dilengkapi selang tambahan untuk memadamkan api baik di maupun di luar wilayah mereka. “Tahap ini, kami telah mengerahkan empat tim pemadam kebakaran.”
Cargil telah melaporkan semua insiden kebakaran ini ke polisi lengkap dari lapangan maupun foto-foto lewat drone. “Juga bekerja bersama masyarakat lokal untuk segera memberitahu kantor regional kami dan pihak berwenang setempat jika ada terditeksi kebakaran atau pembakaran pada atau dekat batas-batas kebun kami.”
Dia menjelaskan, Cargill memiliki kebijakan ketat zero-burning. “Kami benar-benar tidak membenarkan pembakaran lahan untuk cara apapun, baik pertanian, ekonomi atau sosial.”
Cargil, katanya, terus memberikan bantuan pemadam kebakaran kepada pemerintah daerah untuk mengelola kebakaran yang sering menyebar. Selama musim kemarau panjang ini, bara api cepat berkembang menjadi kebakaran ketika terkena angin. “Kabut asap kebakran berdampak parah bagi kesehatan dan mata pencaharian jutaan hidup di masyarakat lokal kita, termasuk rekan-rekan kami.”
Soal pernyataan Cargil, Walhi menanggapi. Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Walhi Nasional mengatakan, relasi kebakaran dengan korporasi bisa dalam maupun di luar konsesi.
“Kebakaran menjadi tanggung jawab korporasi ketika terjadi di sekitar konsesi karena dampai penurunan fungsi ekosistem dari kawasan itu.”
Di dalam Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL), setiap konsesi tapak proyek wajib melakukan kajian lingkungan hidup, meminimalisir dampak juga mengendalikan kerusakan di dalam maupun sekitar konsesi.
“Jadi perusahaan tak bisa mengatakan ini berada di dalam atau luar konsesi. Karena UKL UPL, Amdal, izin lingkungan, HGU dan izin produksi itu dalam satu kesatuan hukum. Tak akan terbit HGU tanpa izin produksi, tanpa izin lingkungan.”
Zenzi mengatakan, izin lingkungan juga tak akan keluar jika berdampak pada ekosistem di sekitar. Artinya, korporasi tak hanya bertanggung jawab di dalam konsesi, juga pada kawasan penyangga.
Dia mengatakan, organisasi masyarakat sipil juga sulit mendapatkan informasi mengenai wilayah konsesi perusahaan. “Kita minta kepada korporasi-korporasi bukan hanya Cargil tetapi seluruh korporasi membuka peta mereka kepada publik. Hingga publik luas bisa terlibat melihat korporasi mana yang terlibat dan tidak. Jadi publik bisa memberikan penilaian,” katanya.
Selama ini, katanya, jangankan masyarakat, Walhi saja mengakses data konsesi sangat sulit. Artinya, ada bagian ditutupi oleh korporasi maupun pemerintah.
“Jangan lagi korporasi menutup data-data. Kalau Walhi tidak riset orang tidak akan tahu kalau korporasi terlibat kebakaran.”
Pemerintah Kalteng Legalkan Izin Bakar Hutan
Sebuah Pergub (Peraturan Gubernur) Kalteng No 15 Tahun 2010 yang melegalkan izin bakar hutan. Pergub ini tentang Perubahan Peraturan Gubernur Kalteng No 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah menjadi dasar legalitas untuk membakar hutan.
Pergub tersebut ditandatangani oleh Gubernur Kalteng yang saat itu dijabat oleh Agustin Teras Narang. Hadi Prabowo selaku salah satu Pejabat gubernur Kalteng membenarkan jika aturan tersebut membolehkan warga membakar hutan, namun dalam pengendalian.
Jika sudah ada aturan yang melegalkan membakar hutan, walau hanya sedikit, apakah pembakar menjamin api kebakaran tidak akan meluas??? Berikut lapiran Pergub Kalteng No 15 Tahun 2010 yang melegalkan izin bakar hutan sebanyak empat halaman (klik pada gambar untuk memperbesar).
Sumber berkas: web Kalteng.go.id
https://indocropcircles.wordpress.com
loading...
0 Response to "Dibalik Pembakaran Hutan dan Lahan? Siapa ‘God Father’"
Posting Komentar